Tuesday, June 12, 2012

Menunggu Lampu Hijau

Aku melirik ke arah sebelah kiriku. Rena, kakakku sedang serius memperhatikan kendaraan yang lewat, tangannya sibuk mencatat pada lembaran kertas berisi tabel kosong yang dia bawa dari Bandung. Kami sedang duduk di pinggir jalan pusat Kota Bukittinggi, menumpang duduk di depan sebuah kios rokok. Perempatan antara Jl. Jam Gadang dan Jl. Pasar Atas sedang ramai oleh kendaraan yang berlalu-lalang. Karena itulah aku berada di sini, menemani kakakku melakukan traffic counting, menghitung kendaraan yang lewat di sini sebagai penunjang tugas akhirnya.

Kualihkan pandanganku ke arah sebelah kanan, Jam Gadang sebagai ikon Bukittinggi berdiri dengan gagahnya. Aku menghela nafas. Jam Gadang berada di depan mata, tapi aku baru akan bisa menikmatinya setelah kakakku selesai dengan traffic counting-nya. Padahal aku sudah tidak sabar untuk berjalan-jalan dan berfoto di Jam Gadang juga berbelanja di Pasar Atas. Andaikan Adit, pacar kakakku tidak menemui teman lamanya yang tinggal di kota ini, tentu dia bisa menemaniku berkeliling di Jam Gadang. Sejak pertama kali mengenalnya, aku langsung kagum pada Adit. Selain tampan, dia juga baik. Dan entah ini kelebihannya atau justru kelemahannya, dia sangat mudah dirayu.

Saat mengingat Adit, saat itu juga perutku tiba-tiba menjadi sakit. Aku ingat pada apa yang kami lakukan tadi pagi, saat Rena sudah duluan berangkat ke tempat ini. Bagaimana ini, aku jadi tidak enak pada Rena. Dia pasti akan marah mengetahui bahwa pacar dan adiknya ternyata tidak dapat dipercaya. Namun walau bagaimanapun aku harus segera memberitahunya apa yang telah terjadi. Tapi dia masih serius dengan traffic counting-nya, tidak mungkin aku mengganggunya. Aku harus menunggu lampu hijau itu berganti warna, baru aku bisa mengatakannya.

Tanganku mencengkeram bangku yang kami duduki. Duh, lampu hijau ini terasa lama sekali. Aku melirik lagi ke arah Rena, dia sedang menyeka peluh di dahinya. Ah kakakku yang cantik ini mau-maunya berpanas-panas dan berdebu-debu ria di pinggir jalan untuk tugas akhirnya. Kakakku ini selain cantik wajahnya juga sungguh cantik hatinya. Dia selalu memperhatikan aku. Keringat dingin mengucur dari tubuhku. Aku menggigit bibirku, merasa bersalah telah melakukan hal yang pasti menyakiti hati kakakku.

Lampunya sudah tidak hijau lagi! Kakakku meregangkan badannya, mengistirahatkan diri sejenak sebelum lampunya menjadi hijau lagi dan dia harus kembali menghitung kendaraan yang lewat.

"Kak.." aku memanggil pelan.

Rena melirikku.

Aku tidak berani menatapnya. Tapi sepertinya Rena bisa menebak apa yang terjadi.

"Kamu..?" Rena tidak menyelesaikan pertanyaannya.

Aku mengangguk.

"Sama Adit..?" dia bertanya lagi.

Aku kembali mengangguk.

Rena tampak marah.

"Ini bukan salah Kak Adit, ini salahku.. Aku yang merayunya.." aku tidak ingin Rena marah pada Adit.

"Kalian sungguh tidak bisa dipercaya!" Rena membereskan kertas-kertas dan alat tulis lainnya.

"Maaf Kak.." aku memegang perutku yang semakin sakit.

"Yuk! Obatnya di hotel kan? Abis itu baru kita cari dokter.."

Kini Rena berdiri, aku pun ikut berdiri.

"Adit bener-bener engga bisa diandalkan! Udah tahu ususmu lemah, malah ajak kamu makan makanan Padang! Rusak deh jadwal traffic counting Kakak..!"

Rena terus mengomel di sepanjang jalan menuju hotel. Aku mengikutinya sambil tertatih-tatih karena menahan sakit di perutku. Nasi kapau dari Los Lambuang di Pasar Lereng tadi sungguh nikmat, tapi sayangnya malah melukai ususku.

~~~~~

#15HariNgeblogFF2 Hari-1

4 comments :