Tuesday, June 11, 2013

Mami Rara and The Gank


“Enggak mauuu!!!”
Praanngg!!! Suara teriakan Caca mengejutkan Sarah. Membuat Sarah tanpa sengaja melepaskan cangkir berisi kopi panas yang sedang dipegangnya. Pecahan cangkir dan tumpahan kopi membuat seluruh lantai dapur menjadi berantakan.
“Apa yang pecah? Babe sini dong, kemeja aku yang warna biru muda mana ya?” teriak Haris dari dalam kamar.
“Bi! Bibi!” Sarah memanggil Bi Inah.
“Iya Bu.” jawab Bi Inah sambil berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Sarah.
“Tolong ini diberesin. Caca kenapa sih? Enggak mau makan lagi?” tebak Sarah.
“Iya Bu.” Jawab Bi Inah sambil membawa lap dan ember.
“Duh. Biar saya saja yang bujuk.” ucap Sarah. Sambil berlalu meninggalkan Bi Inah.
Bi Inah mengangguk. Dia lega karena tugas menyuapi Caca sarapan pagi ini diambil alih oleh majikannya.
“Caca! Dimakan yuk sarapannya.” kata Sarah saat mendapati anaknya sedang asyik menonton Shrek, film kartun kesayangannya.
“Enggak mau! Caca mau disuapin sama Mama.” jawab Caca, pandangannya tidak beralih dari depan televisi.
“Caca kan udah besar, makan sendiri ya. Ini nasi goreng buatan Mama loh. Makanan kesukaan kamu.” Sarah mencoba membujuk Caca.
“Enggak mau! Caca mau disuapin sama Mama.” jawab Caca bersikeras.
Sarah mengehala nafas. Akhirnya dia pun menyerah dan menyuapi gadis kecilnya.
Babe! Kopinya udah jadi? Kemeja biru aku mana yah?” Haris berteriak lagi.
Aarrgghh!! Sarah ingin berteriak sekencang-kencangnya. Namun dia segera mengambil nafas panjang, menahannya beberapa detik, lalu membuangnya pelan-pelan. Sarah melakukannya berulang-ulang. Mencoba mempraktekkan hypnotherapy yang baru-baru ini sedang dia pelajari. Kegilaan dan kesibukan sebagai ibu rumah tangga bisa membuatnya benar-benar gila kalau dia tidak menemukan cara untuk menenangkan jiwanya.
***
“Gue enggak ngerti. Dulu waktu gue masih kerja, Haris dan Caca enggak pernah serewel ini. Caca lumayan mandiri, Haris apalagi. Malah Haris yang biasanya bantuin pekerjaan domestik. Tapi sekarang, duh gue ngerasa seakan-akan mereka mau balas dendam sama gue karena dulu pernah ‘nelantarin’ mereka.” Sarah mecurahkan isi hatinya pada Yuli melalui telepon. Caca sudah berangkat ke sekolah, begitu juga dengan Haris yang sudah berangkat ke tempat kerjanya di sebuah perkebunan kelapa sawit.
“Hahaha! Bukan balas dendam kali, mereka tuh cuman ingin diperhatiin aja sama lo.” jawab Yuli,  soulmate Sarah di kantornya dulu saat masih menjadi banker di Jakarta.
“Ah itu sih nyiksa gue. Resenya mereka ngelebihin resenya Bu Prita loh!” ucap Sarah.
“Lo belum terbiasa aja kali. Coba deh lo bergaul sama ibu-ibu rumah tangga lainnya. Terus ngobrol dan minta pengalaman mereka, supaya lo enggak stres gitu.” Yuli mencoba memberi saran.
"Oh iya gue jadi inget. Gue harus dateng ke acara di sekolahnya Caca. Ada pertemuan rutin orang tua murid jam 10." kata Sarah.
"Kayanya ini perjalanan dinas pertama lo ya sejak resmi jadi ibu rumah tangga." kata Yuli menggoda Sarah.
"Iya nih, makanya gue agak nervous juga." jawab Sarah.
"Dinas ke luar gitu dapet duit SPJ berapa dari suami lo? Cukup enggak buat sepatu Manollo Blahnik yang kemarin lo incer?" Yuli mengolok Sarah.
"Urusan sepatu sih gampang, tinggal minta aja kali sama Haris, dia bakal langsung ngasih kok." Sarah menjawab sambil tertawa.
"Iya deh, yang udah jadi ibu rumah tangga. Selamat menikmati hari-hari ngabisin duit suami ya." kata Yuli.
"Sialan lo. Sekarang gue enggak terlalu ngebet sama barang-barang kaya gitu lagi, soalnya di sini yang dihargai itu kepribadian bukan barang-barang branded. Yuk ah gue musti siap-siap dulu nih. Thanks ya. Bye!" Sarah lalu menutup sambungan telepon dengan sahabatnya itu.
"Oke. Bye dear!" balas Yuli.
***
Beberapa saat kemudian Sarah sudah siap berangkat ke sekolah Caca. Rupanya tetangga sebelah rumah Sarah sedang membeli sayuran dari tukang sayur langganan mereka.
"Wah pagi-pagi begini Bu Haris udah cantik. Mau ke mana Bu?" tanya Bu Gilang ketika mengetahui Sarah sudah menyalakan mobilnya.
"Eh ada Bu Gilang. Saya ada acara pertemuan orang tua murid di sekolahnya Caca." jawab Sarah sambil membuka pintu gerbang rumahnya. 
"TK Mawar?" Bu Gilang bertanya lagi.
"Iya." jawab Sarah sambil mengangguk.
"Wah! Saran saya sih hati-hati aja. Pergaulan ibu-ibu sosialita di sana hebat-hebat loh. Apalagi kalau udah ketemu sama Mami Rara and the Gank. Salah kostum sedikit, siap-siap aja dapet kritikan pedas." cerita Bu Gilang.
Sarah melongo. Namun dia tersadar dan segera pamit pada Bu Gilang untuk kembali masuk ke dalam rumah.
Sarah lalu berdiri mematung di depan cermin. Meskipun sederhana, tapi penampilannya tetap terlihat elegan. Sayangnya kali ini tidak ada satu pun item branded yang dia kenakan. Sesuai pesan ibunya, Sarah harus menyimpan barang-barang branded-nya agar bisa lebih berbaur dengan lingkungan barunya. Namun siapa yang menyangka bahwa di sebuah TK di pelosok Sukabumi ini ternyata ada juga kumpulan ibu-ibu sosialita.
Ingatan Sarah tentang kenangan masa lalunya kembali. Ketika SMA, Sarah merupakan murid yang bisa dikatakan hampir tidak mempunyai teman. Sebagian besar teman-teman di sekolahnya merupakan anak pejabat dan pengusaha. Mereka memilih teman hanya berdasarkan penampilan dan materi yang digunakan. Setelah Sarah bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri, penampilannya berubah total. Selain menjadi perempuan yang supel, penampilannya pun selalu melibatkan barang-barang branded yang up to date.
Sarah masih berdiri di depan cermin. Penampilannya sangat sederhana, padahal kesan pada pandangan pertama begitu penting. Dia tidak ingin kejadian saat SMA kembali terulang. Dia tidak mempedulikan pesan ibunya. Dia harus mendapatkan teman dan harus menyesuaikan penampilannya dengan ibu-ibu di sini agar dapat bergabung dengan Mami Rara and the Gank.
Sarah ingin sekali mengganti pakaiannya, tapi sepertinya waktunya sudah tidak mencukupi lagi. Lalu Sarah pun berjalan ke lemari khusus tempat penyimpanan koleksi tas-tas branded-nya. Dia mengambil salah satu tas yang serasi dengan pakaian yang sedang dia kenakan.
Sarah menimang-nimang tas branded itu. Bentuknya cantik sekali. Terbuat dari kulit sintetis yang di-emboss berwarna putih dengan aksen kulit sintetis bertekstur kulit ular. Berkali-kali dia menimang lalu menaruhnya kembali, lalu kembali mengambil dan menimangnya lagi. Sarah merasa bimbang.
Setelah menimbang-nimbang akhirnya Sarah memutuskan untuk mengenakan tas Hermes itu. Dia juga melilitkan kain scarf Dior di lehernya. Lalu sekali lagi Sarah mematut bayangan dirinya di depan cermin. Kini penampilannya terlihat lebih mewah, membuat dia lebih percaya diri.
***
Tiba di sekolah Caca, Sarah melihat kumpulan ibu-ibu sedang asyik mengobrol. Rupanya acara pertemuan belum dimulai. Sarah berjalan menghampiri mereka.
"Ada orang baru nih. Mama Caca ya?" tanya seorang perempuan dengan make-up wajah yang sangat tebal.
"Iya." jawab Sarah sambil mengangguk sopan. Padahal sesungguhnya dia kesal sekali karena semenjak menjadi ibu rumah tangga, identitas pribadinya sebagai Sarah Utami menjadi hilang. Di lingkungan rumah dia harus mau dipanggil Bu Haris, sedangkan di lingkungan sekolah dia harus mau dipanggil Mama Caca.
"Kenalin saya Mami Rara dan ini Bunda Tisa." perempuan itu mengenalkan diri dan temannya pada Sarah.
"Wah! Tasnya bagus sekali. Enak ya tinggal di Jakarta, mudah dapet barang-barang bagus." perempuan yang disebut Bunda Tisa mengomentari tas yang dikenakan Sarah.
"Tas ini saya beli waktu dulu sedang dinas ke Eropa." jawab Sarah sambil tersenyum sopan.
"Jauh amat beli ke Eropa. Tenang, di Sukabumi juga ada kok tempat yang seru buat dapet barang bagus. Harganya lumayan mahal sih, tapi barangnya beneran bagus loh! Tas ini harganya lima ratus ribu. Keren kan?" Mami Rara menunjukkan tas yang dia kenakan.
Sarah menelan ludah melihat tas Luis Vutton entah KW berapa yang dibanggakan Mami Rara.
"Enggak jauh beda kan sama yang dari Eropa." Mami Rara menyandingkan tasnya dengan tas Sarah.
Sarah tersenyum masam karena tasnya yang berharga puluhan juta disandingkan dengan tas KW.
"Kalau yang punya saya ini satu juta. Cantik kan?" Bunda Tisa ikut memamerkan tasnya.
Lagi-lagi Sarah menelan ludah melihat tas Gucci entah KW berapa yang dibanggakan Bunda Tisa.
"Kalau menurut Mama Caca kemahalan, Umi Fera jual loh tas-tas branded yang harganya miring." Mami Rara berbisik pada Sarah.
Tidaaakkk!!! Jerit Sarah di dalam hati. Dia merasa cemas. Sanggupkah dia bergaul dan berbaur dengan ibu-ibu sosialita KW ini.
*****



3 comments :

  1. Sudah kbookmark. Nanti kubaca pas senggang. :)

    ReplyDelete
  2. Komentar dari teman-teman di grup FB Just Write 2...

    Chilmi Muhammad S: keren mbak, itu kisah pribadi bukan ? hahahaha

    Ratna Mariastuti: 'dipaksa' mas Abdul Azis Sukarno buat baca cerpen ini. dengan mata ngantuk dan kepala migren akut, akhirnya selesai juga. kesan pertama: cerpen ini lucu (in a good way). memotret 'fenomena' yang umum dan banyak terjadi di sekitar kita, tapi jarang (mungkin saya yang tidak tahu) ada yang mau mengangkatnya. kehidupan seorang wanita yang melepas karier gemilangnya di sebuah bank untuk ikut tinggal bersama suaminya di sebuah desa pelosok di Sukabumi. penulis jeli menangkap perubahan ritme hidup dari si tokoh dari seorang wanita karier menjadi ibu rumah tangga. penulis juga tidak berlebihan menggambarkan si tokoh yang 'branded-minded' dengan membombardir merek2 terkenal di sepanjang cerita. secukupnya, sesuai porsinya, dan di bagian yang pas.
    tapi ada satu bagian yang membuat kening berkerut. diceritakan suami si tokoh bekerja di perkebunan kelapa sawit. bagi pembaca (terutama saya) yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan tentang Jawa Barat yang kuat, akan bertanya apakah di Sukabumi (yang identiknya dengan perkebunan teh) ada perkebunan kelapa sawit.
    tapi secara umum, cerita ini cukup menghibur. selamat!

    Jeezicha Jee: Ni jangan2 mbak Nathalia curcol deh hihihi
    Aku ngebayangin ekspresi muka mama caca d ending pasti stres banget y haha XD

    Triana Dewi: aku udah baca di depan mas Azis kmrn, dan menurutku judulnya enakan sosialita KW dehh hahahaa..
    ayoo dibikin novel dik Nathalia Diana Pitaloka...

    Fitri Gita Cinta: uhum mbak Triana... lebih menjual kekekkeke
    mungkin kudu dipikirin judul lain ya... :D

    Sangaji Munkian: Pas baca ini aku ngerasa mbak Nathalia Diana sendiri yang meraninnya :P
    cerpenya lucu, cair, mengalir dan judulnya emang lebih asyik Sosialita KW hehe

    Akarui Cha: Bagus. Aku suka gaya berceritanya. Kalo dinovelin seru nih. Kalo saran ganti judul, yup banget. Ayooo semangat!

    ReplyDelete