Tuesday, August 27, 2013

[Berani Cerita #24] Vivienne

"Silakan masuk." ucap seorang petugas berpakaian putih.

Aku berjalan masuk ke dalam kamar dan mendapati seorang wanita sedang duduk di tepi kasur.

Namanya Vivianne. Bukan hanya karena senyumnya yang indah, matanya yang bercahaya dan lesung pipinya yang manis, yang membuatku memutuskan untuk menikahinya. Namun sifatnya yang perianglah yang telah membuatku rela melakukan apapun untuknya. Sebagai seorang istri, dia selalu berusaha untuk menyenangkan hatiku. Setiap pulang kerja, aku selalu disambut dengan rumah yang rapi dan makanan yang lezat.

Kini kami sudah dikaruniai tiga orang anak yang hebat, Abigail 1 tahun, Fabian 3 tahun, dan Beatrice 5 tahun. Fabian sudah sering menjuarai berbagai lomba mewarnai, sementara Beatrice sudah sangat lihai bermain piano. Ini semua berkat kerja keras dan didikan Vivienne yang juga hebat. Tidak mengherankan karena dia juga dibesarkan dalam keluarga hebat. Ayahnya adalah seorang tentara dengan jabatan yang cukup tinggi. Sedangkan ibunya adalah seorang dokter yang sangat terkenal. Sama seperti ibunya, Vivienne adalah seorang dokter yang lulus dari perguruan tinggi terkemuka di Indonesia dengan predikat cum laude, meskipun kini dia memutuskan untuk melepaskan karirnya demi anak-anak.

Cantik dan pintar tidak membuatnya menjadi sombong, dia tetap supel dan selalu dikelilingi banyak teman.

Bersama Vivienne hidupku begitu sempurna.

Namun semuanya harus berakhir ketika terjadi suatu peristiwa yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

"Max..." Vivienne menatapku dengan mata yang basah. Untuk waktu yang lama kami berpelukan tanpa kata-kata.

"Aku pamit. Pak Roby mempromosikanku ke kantor pusat di London." kataku sambil melepaskan pelukan kami.

Kini matanya yang tidak lagi bercahaya menatapku kosong. Tidak terlihat senang juga tidak terlihat sedih.

"Selamat tinggal." kataku sambil berbalik dan meninggalkan kamar Vivienne.

Sementara itu pernyataan Vivienne di hadapan hakim terus terngiang-ngiang di kepalaku. "Aku tertekan... Di satu sisi, aku merasa takut akan menjadi ibu yang gagal... Di sisi lain, aku merasa terkekang dengan kehadiran anak-anakku... Karena itulah aku membunuh mereka..."

~~~

300 kata

Terinspirasi dari kejadian ini.

Maksudnya ingin menunjukkan karakter Vivienne yang mudah labil. Dia juga merasa terkekang karena menjadi ibu rumah tangga sehingga 'need of achievement'-nya menurut dia tidak terpenuhi, sementara orang tua dan suaminya memiliki karir yang hebat. Mirisnya, setelah melakukan perbuatan itu, dia justru harus masuk rumah sakit jiwa dan ditinggalkan suaminya, sedangkan karir suaminya malah makin melesat. Kasian.

Mohon masukannya yah biar ceritanya 'dapet' :)

Ditulis dalam rangka menjawab tantangan Berani Cerita #24 dan Monday Flashfiction Prompt #23: People.


11 comments :

  1. Duh.. sedih banget.. :(

    ReplyDelete
  2. Demi ke London, anaknya dibunuh. tega :(

    ReplyDelete
  3. wiiidih berdesir membaca endingnya Mba DP :(

    ReplyDelete
  4. jadi teringat satu bagian cerita di Shutter Island tentang Leo Di Caprio yang jadi gila karena melihat istrinya bunuh diri setelah membunuh dua (atau tiga?) anak mereka.. :(

    ReplyDelete
  5. Wew! Sadis juga si Ibu! Tapi kurang alasan, kenapa Vivienne merasa tertekan ama kehadiran anak-anak? Sehingg ngebunuh mereka?

    Tapi mungkin emg si V ini gila, karna putusan hakim mengirimnya ke RSJ bukan ke penjara! Hehe..

    ReplyDelete
  6. sadis euy, sbgitu tertekannya ampe anak sendiri dibunuh ckckck
    twist-nya mantep mbak :D

    ReplyDelete
  7. Banyak sekali perempuan yang dihadapkan dengan pilihan karir dan anak. Miris.

    ReplyDelete