Monday, September 2, 2013

Dear Singapura dan Malaysia...

Pedra Branca merupakan nama sebuah pulau granit seluas 8.560 meter persegi. Meskipun hanya sebesar setengah lapangan bola, namun Pedra Bancra ini letaknya sangat strategis, yaitu berada sejauh 46 km dari sisi timur Singapura dan 14,3 km dari sisi selatan Johor, Malaysia, dimana Selat Singapura bertemu dengan Laut Cina Selatan.

Sumber
Sengketa antara Singapura dan Malaysia dimulai pada tahun 1979 ketika pemerintah Malaysia menerbitkan sebuah peta yang berjudul “Wilayah Perairan dan Batas Landas Kontinen Malaysia” yang memasukkan pulau Pedra Branca ke dalam wilayah kedaulatan Malaysia. Pada tanggal 15 Februari 1980, Singapura langsung mengajukan protes resmi yang menolak klaim Malaysia dan meminta untuk mengakui kedaulatan Singapura atas Pedra Branca.

Dalam perjalanannya, Malaysia dan Singapura tampak sia-sia berusaha untuk menyelesaikan sengketa melalui serangkaian negosiasi bilateral dari tahun 1993 sampai tahun 1994. Akhirnya pada tanggal 24 Juli 2003 kedua pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa kepada Mahkamah Internasional sebagai badan di bawah naungan PBB yang akan mengambil keputusan yang adil berdasarkan bukti-bukti yang ada.

Pada awalnya, Singapura bersikeras bahwa tiga pulau tersebut merupakan satu kesatuan dengan sebutan Pedra Branca. Sedangkan Malaysia bersikeras bahwa masing-masing pulau adalah terpisah dengan sebutan Pulau Batu Puteh (Pedra Branca), Karang Tengah, dan Karang Selatan yang akhirnya disetujui oleh Singapura.

Berdasarkan berbagai argumen dan bukti yang dapat dibaca di sini, pada tanggal 23 Mei 2008, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedaulatan atas Pedra Branca atau Pulau Batu Puteh adalah milik Singapura, Karang Tengah adalah milik Malaysia, sementara Karang Selatan belum ditentukan karena hanya bisa dilihat ketika pasang rendah. Keputusan tersebut bersifat mengikat, final, dan tidak ada banding.

Nampaknya keputusan tersebut tidak cukup memuaskan bagi Malaysia. Memang dalam mengantisipasi hasil perundingan ini, akan menghasilkan tiga kemungkinan, yaitu pertama kepuasan untuk Singapura, atau kedua kepuasan untuk Malaysia, atau ketiga berunding dengan difasilitasi oleh pihak ketiga. Apabila masih belum memuaskan, bukan tidak mungkin bisa terjadi perang. Namun kemungkinan yang terakhir tentu sulit karena selain Mahkamah Internasional telah memberikan win-win solution, keduanya juga terikat pada kesepakatan ASEAN.

Ya, ASEAN. Perlu disesali bahwa dalam mekanisme penyelesaian sengketa dan konflik daerah perbatasan antara Singapura dan Malaysia yang merupakan anggota ASEAN, ASEAN sebagai sebuah forum kerjasama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan masalah perbatasan. Padahal, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum Laut Internasional dalam menghadapi sengketa dan konflik daerah perbatasan terdapat beberapa cara untuk mengatasinya. Bahwa apabila tidak dapat diselesaikan secara bilateral, dapat diselesaikan melalui mediator, arbitrator dan mekanisme regional.

ASEAN sebenarnya sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah sengketa dan konflik daerah perbatasan. Namun keberatan beberapa anggota merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.

Hmmm... Kalau begini saya jadi bingung sendiri. Upaya penyelesaian masalah ini tidak ingin dibantu oleh ASEAN, namun keputusan yang dibuat oleh Mahkamah Internasional juga ternyata tidak cukup memuaskan, khususnya bagi pihak Malaysia. Kalau begitu Singapura dan Malaysia harus menyelesaikan masalah ini dengan cara lain. Cara yang lebih adil dan lebih dewasa sehingga dapat memuaskan semua pihak, yaitu suten! Hihihi, becanda...

Tidak ada cara lain bagi Singapura dan Malaysia dalam menanggapi keputusan Mahkamah Internasional kecuali dengan menerima secara lapang dada. Seperti yang saya kutip dari pernyataan Duta Besar Malaysia, Dato' Rastam Mohammad Isa mengenai keputusan Mahkamah Internasional terkait kasus Pulau Sipadan dan Ligitan:
"Bagi kami karena keputusan telah dibuat oleh Mahkamah Internasional, kami harap semua pihak dapat menerima dengan baik. Supaya tidak timbul hal-hal yang dapat mengeruhkan keadaan, terutama dalam kaitan hubungan antara dua negara."

Selain itu, dalam rangka menyambut ASEAN Community pada tahun 2015 nanti. Diharapkan ASEAN dapat merangkul semua negara di ASEAN dan lebih tegas dalam menyikapi perselisihan antar anggotanya sehingga negara-negara ASEAN dapat menjadi satu komunitas tunggal.

Referensi:
  • http://dania-putri.blogspot.com/2011/03/tulisan-kewarganegaraan-kasus-ambalat.html
  • http://dedy-meguru.blogspot.com/2013/03/analisis-putusan-mahkamah-internasional.html
  • http://en.m.wikipedia.org/wiki/Pedra_Branca_dispute
  • http://tempo.co.id/harian/wawancara/waw-DatoRastam.html

~~~

Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba blog #10daysforASEAN hari ke-7.

3 comments :

  1. Setuju sekali sikap menerima putusan akan membuat keadaan menjadi lebih aman dikedua negera tersebut.

    ReplyDelete
  2. hahahaha.. suten... itu karena cuma sengketa berdua ya.. kalau bertiga jadi gambreng..

    ReplyDelete