Wednesday, June 13, 2012

Pagi Kuning Keemasan


"Sya.. Sya.." seseorang membangunkanku.

Sesaat aku tidak ingat sedang berada di mana saat terbangun. Ah iya, aku berada di Pulau Lengkuas, Belitung. Tidur di dalam tenda. Jam di tanganku menunjukkan bahwa sekarang baru pukul 5 pagi, dan Hendra sudah membangunkanku. Huh! Aku pun beranjak keluar dari tenda.

"Met pagi Nona Nesya.. Bagaimana tidurnya?" Hendra menyambutku.

"Ini masih gelap.. Ngapain kamu bangunin aku?!" aku cemberut. Aku bukan tipe morning person.

"Aku mau ajak kamu lari keliling pulau ini.. Gimana?"

Aku perhatikan pakaian Hendra, masih sama seperti yang dipakainya tidur semalam, hanya saja sekarang dia sudah memakai sepatu lari, kamera kesayangannya pun sudah tergantung manis di lehernya.

"Males.. Aku masih ngantuk.." jawabku ketus.

"Ya udah, aku engga mau maksa.. Kamu tunggu sunrise di sini aja.. Oiya, kalau mau buat kopi, tuh air panasnya, tadi aku sempat minta sama Pak Ali operator mercusuar.." Hendra pun berlari meninggalkanku.

Dengan malas aku menyeduh kopi instan yang sudah disiapkan Hendra. Seharusnya pagi ini aku masih tidur cantik di hotel mewah di Kuta bersama teman-teman kantorku. Tapi Hendra malah mengajakku ke pulau terpencil ini.

Betapa bodohnya aku, mau saja menemani Hendra memuaskan hasratnya terhadap alam dan hobi fotografinya, padahal aku bukan siapa-siapanya. Oke aku memang kekasihnya. Tapi dengan hubungan kami yang sudah berjalan hampir tiga tahun, aku berharap seharusnya aku sudah menjadi istrinya. Pulau ini seharusnya jadi tempat bulan madu kami, jadi tidak perlu mendirikan dua tenda seperti ini.

Sejak tiba di sini kemarin siang, Hendra begitu bahagia. Berkeliling pantai dan naik ke puncak mercusuar, mengambil foto pemandangan pulau ini dari berbagai sudut dengan antusias. Sementara aku, mengikutinya dengan terengah-engah. Menjelang sore, dia bermain-main di pantai dan tentu saja tidak melewatkan snorkeling. Sementara aku? Jangankan snorkeling, berenang saja tidak bisa.

Awalnya semua terasa baik-baik saja. Aku sangat senang saat Hendra mengajakku ke sini, hanya berdua berlibur di sebuah pulau. Ditambah, aku tidak bisa memungkiri bahwa pulau ini memang indah. Perpaduan antara batu-batu granit, pantai berpasir putih, dan warna air yang begitu jernih hingga kita bisa melihat ikan-ikan berenang di dalamnya sungguh sempurna. Paradise, kata Hendra.

Mood-ku tiba-tiba berubah saat dalam perjalanan menuju ke sini. Mita, teman lamaku menelepon dan mengabari bahwa dia akan menikah. Tentu saja aku ikut bahagia. Tapi Mita menikah dengan lelaki yang baru dikenalnya selama tiga bulan. Pikiran negatifku berkata bahwa Hendra tidak serius padaku, dia hanya ingin mempermainkanku.

Jangankan melamar, bilang "I love you" aja hanya setahun sekali saat aku ulang tahun, itu pun lewat kartu.

Semalaman aku berpikir, sepertinya harus aku yang lebih dulu membahas hubungan kami. Bagaimana pun tanggapan Hendra nanti baik itu positif atau negatif, aku harus siap. Aku tidak mau seperti ini terus.

Matahari sudah mulai terbit. Hendra terlihat kembali menuju tenda.

"Pagi-pagi begini pulau ini indah banget loh Sya..!" Hendra duduk di sebelahku.

"Subuh.. Pagi itu jam 9.." aku mengoreksi.

Hendra tertawa dan mengacak-ngacak rambutku. "Liat, matahari mulai terbit, indah banget yah.. Aku baru kali ini merasakan pagi yang begitu kuning keemasan.." Hendra menatap sunrise di hadapan kami. Dia benar, memang indah, tanpa sadar aku pun tersenyum.

Klik!

Aku menoleh. "Ih apaan sih!" aku memarahinya.

Hendra tersenyum. "Liat deh, kamu cantik banget.. Pantulan warna kuning keemasan membuat lekuk wajahmu semakin sempurna.." Hendra memperlihatkan fotoku yang baru saja diambilnya.

Aku meraih kameranya.

"Aku yakin anak-anakku akan mewarisi kecantikanmu.."

Memang benar, foto ini sungguh sempurna. Eh, apa tadi kata Hendra.

"Maksudmu?" tanyaku.

"Oh iya, aku salah.. Maksudku anak-anak kita.."

"....."

"Eh, kamu mau kan jadi ibu dari anak-anakku?" lanjutnya.

Aku terpana. Akhirnya Hendra melamarku?

~~~~~

#15HariNgeblogFF Hari-2

Tuesday, June 12, 2012

Menunggu Lampu Hijau

Aku melirik ke arah sebelah kiriku. Rena, kakakku sedang serius memperhatikan kendaraan yang lewat, tangannya sibuk mencatat pada lembaran kertas berisi tabel kosong yang dia bawa dari Bandung. Kami sedang duduk di pinggir jalan pusat Kota Bukittinggi, menumpang duduk di depan sebuah kios rokok. Perempatan antara Jl. Jam Gadang dan Jl. Pasar Atas sedang ramai oleh kendaraan yang berlalu-lalang. Karena itulah aku berada di sini, menemani kakakku melakukan traffic counting, menghitung kendaraan yang lewat di sini sebagai penunjang tugas akhirnya.

Kualihkan pandanganku ke arah sebelah kanan, Jam Gadang sebagai ikon Bukittinggi berdiri dengan gagahnya. Aku menghela nafas. Jam Gadang berada di depan mata, tapi aku baru akan bisa menikmatinya setelah kakakku selesai dengan traffic counting-nya. Padahal aku sudah tidak sabar untuk berjalan-jalan dan berfoto di Jam Gadang juga berbelanja di Pasar Atas. Andaikan Adit, pacar kakakku tidak menemui teman lamanya yang tinggal di kota ini, tentu dia bisa menemaniku berkeliling di Jam Gadang. Sejak pertama kali mengenalnya, aku langsung kagum pada Adit. Selain tampan, dia juga baik. Dan entah ini kelebihannya atau justru kelemahannya, dia sangat mudah dirayu.

Saat mengingat Adit, saat itu juga perutku tiba-tiba menjadi sakit. Aku ingat pada apa yang kami lakukan tadi pagi, saat Rena sudah duluan berangkat ke tempat ini. Bagaimana ini, aku jadi tidak enak pada Rena. Dia pasti akan marah mengetahui bahwa pacar dan adiknya ternyata tidak dapat dipercaya. Namun walau bagaimanapun aku harus segera memberitahunya apa yang telah terjadi. Tapi dia masih serius dengan traffic counting-nya, tidak mungkin aku mengganggunya. Aku harus menunggu lampu hijau itu berganti warna, baru aku bisa mengatakannya.

Tanganku mencengkeram bangku yang kami duduki. Duh, lampu hijau ini terasa lama sekali. Aku melirik lagi ke arah Rena, dia sedang menyeka peluh di dahinya. Ah kakakku yang cantik ini mau-maunya berpanas-panas dan berdebu-debu ria di pinggir jalan untuk tugas akhirnya. Kakakku ini selain cantik wajahnya juga sungguh cantik hatinya. Dia selalu memperhatikan aku. Keringat dingin mengucur dari tubuhku. Aku menggigit bibirku, merasa bersalah telah melakukan hal yang pasti menyakiti hati kakakku.

Lampunya sudah tidak hijau lagi! Kakakku meregangkan badannya, mengistirahatkan diri sejenak sebelum lampunya menjadi hijau lagi dan dia harus kembali menghitung kendaraan yang lewat.

"Kak.." aku memanggil pelan.

Rena melirikku.

Aku tidak berani menatapnya. Tapi sepertinya Rena bisa menebak apa yang terjadi.

"Kamu..?" Rena tidak menyelesaikan pertanyaannya.

Aku mengangguk.

"Sama Adit..?" dia bertanya lagi.

Aku kembali mengangguk.

Rena tampak marah.

"Ini bukan salah Kak Adit, ini salahku.. Aku yang merayunya.." aku tidak ingin Rena marah pada Adit.

"Kalian sungguh tidak bisa dipercaya!" Rena membereskan kertas-kertas dan alat tulis lainnya.

"Maaf Kak.." aku memegang perutku yang semakin sakit.

"Yuk! Obatnya di hotel kan? Abis itu baru kita cari dokter.."

Kini Rena berdiri, aku pun ikut berdiri.

"Adit bener-bener engga bisa diandalkan! Udah tahu ususmu lemah, malah ajak kamu makan makanan Padang! Rusak deh jadwal traffic counting Kakak..!"

Rena terus mengomel di sepanjang jalan menuju hotel. Aku mengikutinya sambil tertatih-tatih karena menahan sakit di perutku. Nasi kapau dari Los Lambuang di Pasar Lereng tadi sungguh nikmat, tapi sayangnya malah melukai ususku.

~~~~~

#15HariNgeblogFF2 Hari-1

Sunday, June 3, 2012

Jav 17 Bulan

  • Giginya nambah lagi 2 di atas 
  • Udah bisa manjat motor
  • Suka ikut2an minum pake gelas & ngisi di dispenser
  • Mulai suka corat-coret
  • Suka masukin kunci ke lemari, motor, mobil
  • Bisa nunjukin mana perut, tangan, kepala, kaki, hidung
  • Suka nyuapin cemilan buat ayah-bundanya