Tuesday, August 21, 2018

Rokok Harus Mahal: Lindungi Kelompok Miskin dan Generasi Muda

rokok harus mahal

Suatu pagi, sepulang dari belanja di tukang sayur, saya mendapati dua anak sekolah sedang duduk dan merokok di dekat selokan rumah saya. Memang, melihat anak sekolah merokok bukanlah suatu hal yang aneh. Zaman saya masih SMA saja, banyak teman-teman yang sudah mulai merokok. Apalagi zaman sekarang. Tapi kalau anak SD merokok? Jujur saya kaget banget.

Saya memang kurang pandai menebak usia, apalagi anak zaman sekarang badannya besar-besar. Tapi saya tahu pasti bahwa dari pakaiannya yang berupa pangsi, dua anak yang sedang merokok itu adalah anak SD yang memakai pakaian khas Sunda setiap hari Rabu dalam rangka Rebo Nyunda. Iya, anak SD sudah mulai merokok.

Setelah saya tegur, mereka pun mematikan rokoknya dan pergi. Namun saya sangsi mereka bisa benar-benar berhenti merokok, kemungkinan besar mereka akan mencari tempat lain untuk merokok. Hal yang membuat saya gemas yaitu, dari mana sih mereka bisa mendapatkan rokok? Memang ketika mereka membeli ke warung, enggak ditolak ya sama penjaga warungnya?

Dalam beberapa minggu terakhir, saya sering membaca artikel teman-teman blogger tentang serial #rokokharusmahal, sebuah program radio Ruang Publik KBR. Serial ini diselenggarakan untuk mengingatkan masyarakat bahwa harga rokok yang murah membuat konsumsi rokok menjadi semakin tak terkendali. Menarik sekali.  

Akhirnya, kemarin saya memiliki kesempatan untuk turut menyimak pogram tersebut. Ternyata, fakta-fakta yang dipaparkan dalam acara itu membuat saya sangat terkejut.  

Jadi, tema talkshow kemarin adalah "Jauhkan Kelompok Rentan dari Rokok". Acara yang dipandu oleh Don Brady ini menghadirkan dua orang narasumber, yaitu Dr. Abdillah Ahsan (Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEB UI) dan Dr. Arum Atmawikarta, MPH (Manager Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat SDGs Bappenas).

Kelompok Rentan 

Apabila dilihat dari aspek kesehatan, yang termasuk dalam kelompok rentan yaitu bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui, dan orang yang menderita penyakit. Namun pada cakupan yang lebih luas, yang dimaksud kelompok rentan dalam bahasan kali ini adalah:
  • Generasi muda. Menurut SDG’s atau Sustainable Development Goals, generasi muda yaitu anak-anak yang berada di bawah usia 15 tahun.
  • Kelompok miskin. Mereka adalah rumah tangga yang jumlah pengeluaran perkapitanya masuk ke dalam kuintil 1 dan kuintil 2.  

Rokok dan Kelompok Rentan

Faktanya, data dari BPS menunjukkan bahwa pengeluaran untuk rokok (12,6%) pada keluarga miskin masuk urutan kedua setelah pengeluaran untuk beras (15,5%) loh. Yup, pengeluaran untuk rokok termasuk besar sekali apabila dibandingkan dengan pengeluaran untuk pendidikan (sekitar 3%) dan kesehatan (sekitar 3%) anak-anaknya.

Itu untuk kelompok miskin. Ternyata fakta konsumsi rokok oleh anak-anak juga cukup mengejutkan. Rupanya lebih dari 30% anak di Indonesia, mulai merokok sebelum usia 10 tahun. Kenapa bisa begitu? Menurut saya sih, hal yang paling utama, jelas karena faktor lingkungan. Orang tua perokok, tentu anaknya memiliki kecenderungan untuk merokok juga. Begitupun dalam hal pergaulan. Apabila semua teman-temannya merokok, pasti anak akan tergoda untuk mencoba juga karena mungkin khawatir akan disebut enggak gaul.

Ada tiga hal yang membuat rokok menjadi begitu dekat dengan kelompok rentan. Pertama, karena rokok sangat mudah diakses oleh kelompok miskin dan generasi muda. Untuk mendapatkan rokok, mereka bisa membeli di warung, kios, hingga pedagang asongan. Termasuk anak-anak. Mereka bisa bebas membeli rokok tanpa penolakan meski usia mereka masih sangat muda. 

Kedua, harganya sangat murah. Harga rokok di Indonesia itu sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Selain dalam bentuk bungkusan, bisa juga dibeli dalam bentuk ketengan. Satu bungkus rokok harganya sekitar 15 ribu rupiah, jadi per batangnya hanya 600 sampai 1000 rupiah. Tentu sangat terjangkau oleh orang miskin, bahkan bagi anak SD yang uang sakunya 10 ribu rupiah.

Ketiga, adanya iklan rokok. Iklan rokok bertebaran di mana-mana. Di televisi, media cetak, jalan, juga warung. Bintang iklannya selalu digambarkan memiliki karakter yang gagah, sukses, berani, dan sebagainya. Pokoknya keren banget lah. Meskipun diselipkan peringatan mengenai bahaya merokok, namun durasinya singkat sekali, enggak bisa terbaca.

Bahaya Rokok Bagi Kesehatan

Menurut hasil survei, rata-rata penduduk miskin mengkonsumsi 11 batang rokok per hari. Mereka sebenarnya sudah tahu kok bahwa merokok itu berbahaya dan dapat menyebabkan penyakit serius. Namun bagaimana lagi, kandungan nikotin dalam rokok telah membuat mereka kecanduan dan sulit berhenti.

Selain membahayakan bagi kesehatan diri perokok, asap rokok juga berbahaya bagi lingkungan sekitar. Perokok pasif justru 3x lipat lebih berisiko mengidap penyakit kronis. Contohnya yaitu pada anak. Balita yang terpapar asap rokok berisiko menderita pneumonia, kanker paru-paru, asma, meningitis, dan infeksi telinga tengah.

Dampak Rokok Bagi Kelompok Rentan

Bagi kelompok miskin, rokok dapat merampas hak anak. Anak dari keluarga miskin rentan putus sekolah dan kekurangan gizi. Sudah lah pendapatannya pas-pasan, eh uangnya malah dibelikan rokok, bukan digunakan untuk menyediakan makanan bergizi. Padahal kalau dihitung secara kasar nih, uang yang dihabiskan untuk membeli rokok misalnya sekitar 450 ribu per bulan, bisa digunakan untuk membeli 30 liter susu, atau 19 kg telur, atau 10 kg daging ayam loh. 

Adapun bagi generasi muda, Indonesia baru akan merasakan dampaknya 10-20 tahun lagi. Apabila saat ini jutaan anak menjadi perokok dan terpapar asap rokok, maka di masa depan mereka akan menjadi penduduk usia produktif yang sakit-sakitan dan menjadi beban ekonomi.

Lindungi Kelompok Rentan dari Rokok

Jadi sudah jelas ya, mengapa kelompok miskin dan generasi muda harus dijauhkan dari rokok. Tapi alasannya bukan hanya itu loh. Selain karena dampak rokok yang sangat buruk, juga karena anak-anak merupakan target utama dari industri rokok. Kok bisa?

Begini, industri rokok kan kehilangan pelanggan setianya karena sakit atau meninggal dunia. Makanya, industri tersebut menyasar anak-anak dan remaja untuk menjadi perokok pengganti agar bisnis rokoknya terus berjalan. Caranya yaitu dengan membuat iklan dan memberikan sponsor secara masif melalui kegiatan musik, olahraga, dan film.


Bagi mereka, semakin dini usia perokok, berarti semakin baik karena semakin sulit berhentinya dan semakin besar keuntungannya. Enggak percaya? Berdasarkan hasil monitoring iklan rokok di 5 kota, ditemukan bahwa 1 dari 3 sekolah terdapat billboard iklan rokok dan 4 dari 5 sekolah terdapat iklan rokok di tempat penjualan (warung, kios, toko). 

Rokok Harus Mahal

Berikut beberapa hal yang harus dilakukan untuk melindungi kelompok miskin dan generasi muda dari rokok.

Pertama, menghentikan iklan rokok. Iklan rokok dapat menciptakan kesan bahwa merokok adalah hal yang biasa, mendorong anak untuk mencoba rokok, mendorong perokok untuk meningkatkan konsumsi rokok, dan mengurangi motivasi perokok untuk berhenti merokok. Saat ini, Indonesia merupakan satu-satunya negara ASEAN yang masih membolehkan iklan rokok.

Kedua, membatasi akses terhadap rokok. Penjualan rokok seharusnya enggak sebebas sekarang. Menjual rokok masih dianggap sebagai kegiatan menjual barang biasa yang bermanfaat. Padahal sama seperti penjualan alkohol, penjualan rokok pun harus dibatasi. Jangan sampai anak-anak bisa membeli rokok dengan bebas. Sudah ada aturannya loh, yaitu PP No. 109 Tahun 2012 tentang pelarangan menjual rokok pada anak. 

Ketiga, menaikkan harga rokok. Pemerintah bisa menaikan harga rokok melalui peningkatan cukai yang setinggi-tingginya. Hal ini sudah dilakukan di berbagai negara. Hasilnya, dengan meningkatkan harga rokok sebesar 10%, maka dapat menekan jumlah perokok sekitar 16%. Seandainya harga #rokok50ribu, tentu diharapkan dapat mengurangi jumlah perokok lebih banyak lagi. 

rokok harus mahal

Kenapa Pemerintah Harus Menaikkan Harga Rokok

Saat ini pemerintah masih belum yakin untuk meningkatkan tarif cukai dan menaikkan harga rokok. Padahal, pemerintah sudah seharusnya mengendalikan konsumsi rokok. Ada 3 pijakan yang dapat dijadikan acuan, yaitu:
  1. UUD 1945. Salah satu hak asasi warga yang harus dipenuhi adalah mendapatkan hak sehat.
  2. UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Disebutkan bahwa tarif beban cukai dibuat untuk mengendalikan konsumsi, termasuk konsumsi rokok.
  3. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa rokok atau tembakau adalah barang yang adiktif. 
Oleh karena itu, pemerintah yang terdiri dari beberapa institusi kementerian sudah selayaknya kompak untuk menjalankan amanah Undang-Undang. Kementerian kesehatan, kementerian pertanian, kementerian perekonomian, dan sebagainya harus bekerjasama mengendalikan konsumsi rokok.

Mitos dan Fakta Seputar Harga Rokok

Nanti kalau harga rokok mahal dan penjualannya menurun, pemasukan pemerintah dari cukai rokok berkurang dong. Ini mitos. Penerimaan negara dari cukai rokok memang besar, yaitu sebanyak 103 triliun. Tapi pengeluaran negara untuk menanggulangi penyakit akibat rokok ternyata jauh lebih besar loh, yaitu sebanyak 378 triliun. Rugi kan.

Nanti kalau harga rokok mahal dan penjualannya menurun, kasihan dong nasib petani tembakau. Ini juga mitos. Sebenarnya posisi tawar petani sangat lemah, karena harga tembakau ditentukan oleh pabrik rokok. Lagipula selama ini, industri rokok mengimpor tembakau kok untuk produksi rokoknya. 

Nanti kalau harga rokok mahal dan penjualannya menurun, pabrik rokok bangkrut, kasihan dong nasib tenaga kerjanya. Ini juga mitos. PHK tenaga kerja terjadi karena industri rokok beralih ke mekanisasi. 

Kesimpulan

So, enggak ada alasan lagi kan untuk menolak kenaikan harga rokok. Yuk dukung kampanye #rokokharusmahal dan #rokok50ribu. Teman-teman bisa ikut menandatangani petisinya di change.org/rokokharusmahal.

~~~

Referensi tambahan: http://www.fctcuntukindonesia.org/

24 comments :

  1. Anak SD sudah merokok, di daerah saya juga ada Mbak.
    Yang bikin saya kesal, pemudanya ada yang ngajarin. Bahkan, anak balita saya pernah loh dibercandain pakai bungkus rokok...

    Yang kayak gini nih, provokasi yang enggak baik. Buat makan ajah susah, eh malah punya duit buat beli rokok

    ReplyDelete
  2. Setuju rokok harus mahal supaya yang nyandu bukan dari kalangan ekonomi yang terbatas dan anak2 gini :(

    ReplyDelete
  3. Rokok memang harus mahal. Suapaya tdk ada lg anak kecil yg sakit krn asap rokok . Tidak ada lg orang tua yg mengutamakan rokok dibanding kebutuhan anaknya

    ReplyDelete
  4. Ya ampun sedih banget ya Teh lihat anak SD udah mulai ngerokok

    ReplyDelete
  5. Sedih banget kalo pelajar udah merokok ya, saya dukung rokok harus mahal deh!

    ReplyDelete
  6. Sedih ya kalau liat anak SD sudah merokok, sekarang mah terang-terangan lagi nggak pake ngumpet-ngumpet mereka teh

    ReplyDelete
  7. setuju banget harganya harus mahal!

    dan kalau di negara maju semua yang mau beli rokok atau alkohol harus menunjukkan KTP.
    Indonesia kapan ya?

    ReplyDelete
  8. Masalah rokok ini masalah kesadaran tak berdaya bagi pelaku dan orang2 di sekitarnya. Jalan yang sangat panjang berliku untuk mengubah regulasi tentang rokok dan tekad kuat para perokok agar berhenti mengisap nikotin.

    ReplyDelete
  9. Setuju rokok mahal. Jika mereka berdalih merokok untuk menyelamatkan perekonomian para pekerja rokok. Maka jangan ngambek kalau harga rokok dinaikkan

    ReplyDelete
  10. Padahal merokok sudah diberi hukum haram oleh MUI tapi kalau adict tetep aja haram juga dilanggar, iya mendingan mahalin aja sekalian biar mikir2 dulu sebelum beli rokok hehe..

    ReplyDelete
  11. Aku termasuk yang setuju rokok harus mahaaaal banget, supaya yang mampu beli adalah orang orang yang mampu bertanggung jawab, soal kesehatan dirinya dan kesehatan lingkungannya. AKu gak suka banget ada asep rokok di depanku, apalagi di lingkungan rumahku.

    ReplyDelete
  12. Sedih sesedih²nya liat generasi muda udah ngerokok.. Sedih jg liat keluarga yg ngerokok di dekat anak². Apa ga ada rasa kasihan dan cinta gt ya sama keluarganya sendiri. Huh! Setuju, rokok harus mahal.

    ReplyDelete