Showing posts with label Just Write 2. Show all posts
Showing posts with label Just Write 2. Show all posts

Monday, April 14, 2014

Unforgettable Journey: Yang Pertama

Once you have traveled, the voyage never ends, but is played out over and over again in the quietest chambers. The mind can never break off from the journey. (Pat Conroy)

Yup! Pengalaman paling menyenangkan untuk dikenang adalah sebuah perjalanan. Setiap perjalanan selalu pantas untuk diiingat dengan kisah suka dukanya masing-masing. Namun ada satu perjalanan yang paling tak terlupakan bagi saya, yaitu perjalanan ke Yogya untuk mengikuti "Just Write 2" yang diadakan oleh Diva Press pada bulan Juni tahun yang lalu. Bukan perjalanan dinas, perjalanan wisata, perjalanan religius, apalagi honeymoon, tapi pelatihan menulis.

Kenapa paling tak terlupakan? Karena perjalanan itu merupakan 'yang pertama'...

Pertama Kali Pergi Sendiri
Sudah tidak terhitung berapa kali saya pernah melakukan perjalanan ke luar kota bahkan ke luar pulau selama hidup saya, baik itu perjalanan bersama keluarga, teman, ataupun rekan kerja. Tapi... saya tidak pernah pergi sendiri. Iyah, 28 tahun dan saya belum pernah pergi ke luar kota sendiri!

Bayangkan, beberapa kali saya pernah mengabaikan wawancara kerja di Jakarta ketika masih berstatus fresh graduate zaman dahulu kala, hanya karena tidak berani pergi sendiri. Selain karena memang tidak pernah berniat untuk bekerja di Jakarta, juga karena malas apabila harus menanggung resiko tersasar di rimba Jakarta sana. Cupu banget yah hiks...

Sempat terlintas untuk menghubungi Aji (peserta pelatihan dari Jatinangor) supaya bisa pergi bersama dari Bandung menuju Yogya. Setelah mengintip profil Facebooknya, saya jadi enggak pede. Dia seorang mahasiswa yang masih muda (dan ganteng). Mana mau dia jalan bareng sama saya yang udah emak-emak begini, bisa-bisa dia turun pasaran hihihi...

Daripada ditolak, atau malah dia menerima tawaran saya dengan terpaksa, mending pergi sendiri aja deh. Toh, kini saya sudah lebih tua dewasa, udah berani pergi sendiri hohoho... Apalagi udah terjamin juga kalau saya bakal dijemput sama panitia ketika sampai di Yogya sana :)

Pertama Kali Pergi Sendiri Menggunakan Kereta
Sebelumnya, kereta bukanlah moda transportasi favorit saya. Apalagi untuk perjalanan jauh seperti Bandung-Yogya. Pasti membosankan. Tapi enggak mungkin juga saya minta dibeliin tiket pesawat sama suami. Dikasih izin untuk pergi enam hari aja, saya udah bersyukur banget :p

Saya pernah pergi ke Surabaya menggunakan kereta. Hasilnya? Mati gaya. Padahal ketika itu saya pergi bersama rekan kerja saya. Apalagi kalau pergi sendiri...

Namun ternyata saya keliru. Perjalanan menggunakan kereta itu asyik banget. Dan lebih asyik lagi kalau sendiri. Loh? Iya. Saya bisa dengan khusyuk menulis draft tulisan untuk blog, membaca buku, mendengarkan musik sambil melihat pemandangan, tidur, sampai hanya melamun. Tanpa ada yang mengganggu. Asyik banget kan. Waktu delapan jam bener-bener enggak terasa :)

Dan, saya baru tahu setelah melewati lebih dari setengah perjalanan bahwa ternyata saya dan Aji menggunakan kereta yang sama, hanya berbeda gerbong. Setelah sampai di Stasiun Tugu dan ngobrol sama Aji, terungkaplah bahwa sebenarnya dia pernah menghubungi saya lewat Facebook. Tapi saya enggak ngeuh karena enggak ada notifikasinya huhuhu... "Jangan-jangan Mba Lia enggak mau pergi bareng sama ABG kaya saya," begitu pikirnya ketika saya enggak merespon pesannya hihihi...

Pertama Kali Pergi Meninggalkan Anak
Hmmm... Ini yang membuat perjalanan saya terasa berat. Selama dua setengah tahun, saya dan Jav adalah satu paket. Di mana ada saya di situ pasti ada Jav. Namanya juga ibu rumah tangga tanpa ART, ke mana-mana pasti bawa anak, soalnya enggak ada yang bisa dititipin.

Saat mengetahui bahwa saya lulus seleksi sebagai peserta pelatihan ini, bukan hanya senang yang saya rasakan, tapi juga bingung, sedih, galau, dan sebagainya. Jav sama siapa? Lalu setelah masalah Jav sama siapa terpecahkan, bukan berarti saya bisa tenang. Bagaimana mungkin saya pergi sendiri dan meninggalkan Jav? Enam hari pula :(

Tapi, untunglah semuanya baik-baik saja. Jav sempat beberapa kali menanyakan saya, tapi tidak sampai menangis. Justru saya yang menangis, saat satu jam pertama di kereta :D

Pertama Kali Mengikuti Pelatihan Menulis Fiksi
Sebagai (mantan) peneliti, saya sudah beberapa kali mengikuti pelatihan menulis. Tapi bukan menulis fiksi, melainkan menulis artikel ilmiah :p

Terpilih sebagai 30 peserta dari 900 pendaftar dalam seleksi pelatihan ini, merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya. Apalagi bisa bertemu langsung dengan Pak Edi (bosnya Diva Press), mendapatkan motivasi menulis dari Tere Liye (penulis favorit saya), berkenalan sama teman-teman editor, dan berbagi pengalaman dengan teman-teman penulis. Kesempatan ini meningkatkan kepercayaan diri saya agar tidak pernah patah semangat untuk selalu mengasah kemampuan menulis.

Dok. Panitia Just Write 2
Pertama Kali Mencoba Lava Tour Merapi
Ini memang bukan perjalanan wisata, namun Lava Tour Merapi ini adalah bonus sebagai bagian dari acara pelatihan. Saya berharap acara wisata ini dilaksanakan di hari terakhir pelatihan, sehingga saya bisa pulang lebih dulu dan kembali ke Bandung lebih cepat. Apa serunya coba, melihat daerah sisa bencana yang tertutupi abu? Tapi tidak, acara wisata tersebut dilaksanakan di hari kedua pelatihan dan wajib diikuti oleh semua peserta.

Lagi-lagi saya salah. Mengikuti lava tour ini seru sekali, memberikan pengalaman yang membuat perasaan saya campur aduk. Di satu sisi, nyesss banget rasanya melihat pemandangan yang indah di sekitar Merapi. Tapi di sisi lain, lebih nyesss lagi melihat desa-desa dan pemukiman yang sudah tak bersisa :(

Lalu sebagai penutup, adrenalin saya pun dipacu dengan pengalaman offroad yang gokil. Semenjak mempunyai anak, jangankan offroad, nonton film di bioskop saja belum pernah lagi. Makanya, offroad ini membuat seluruh jiwa dan raga saya menjadi segar kembali.

Dok. Panitia Just Write 2
So, perjalanan serba pertama ini benar-benar pengalaman yang tak akan terlupakan. Karena setelah perjalanan ini, saya lebih pede pergi sendiri. Saya juga tidak ragu lagi meminta izin pada suami untuk sesekali pergi menikmati me time dan menitipkan Jav padanya. Serta yang paling penting, saya juga mulai berani bermimpi untuk menulis sebuah novel :)

~~~

Tulisan ini diikutsertakan dalam GA Unforgettable Journey Momtraveler’s Tale.


Monday, July 8, 2013

Motivasi Menulis dari Tere Liye

Saya punya janji nih sama seseorang untuk bagi-bagi oleh-oleh dari Pelatihan Menulis Just Write 2 kemarin sebulan yang lalu. Iya, acaranya udah berlalu sebulan yang lalu, tapi saya belum sempat nulis. Pulang dari Yogya, langsung istirahat. Seminggu kemudian adik saya sakit dan harus diopname, jadi saya sibuk ngasuh bayinya. Eh seminggu kemudian gantian saya yang sakit, enggak harus diopname tapi ya jangankan nulis, baca aja males. Terus sisanya males lupa *pembenaran* heuheu... Nah, sekarang mumpung lagi inget, saya mau share materinya Bang Tere Liye tentang Motivasi Menulis.

Kenapa harus menulis? 
Hmmm ternyata ribet juga ya kalau udah kelamaan, banyak yang lupa hehe... Untung saya inget pernah baca ceritanya Bang Tere di Fans Page-nya beliau. Langsung saya copy aja ya. Siapa tau ada yang belum pernah baca.
Cerita Tiga Dokter
Ada tiga dokter muda, wanita, berteman baik, yang baru saja mengucapkan sumpah dokternya. Kalian tahu isi sumpah dokter? Itu keren sekali, amat indah. Saya akuntan, tapi saya tetap terharu membacanya, bahkan baru kalimat-kalimat awalnya saja, membaca sumpah dokter ini membuat saya amat menghargai profesi ini.
Terbawa suasana riang baru saja menjadi dokter, juga dilingkupi dengan semangat kebaikan yang ada dalam sumpah socrates tersebut, ketiga sahabat baik ini berjanji satu sama lain untuk mengadakan sebuah kompetisi positif, yaitu: siapa yang paling banyak melayani orang lain selama mereka menjadi dokter, siapa yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain (entah itu merawat pasien, orang-orang berkonsultasi, murid/mahasiswa, bimbingan, apa saja, sepanjang mendapatkan manfaat dari ilmu kedokteran mereka). Dua puluh tahun lagi mereka akan bertemu, dua puluh tahun lagi mereka akan melihat siapa yang memenangkan kompetisi tersebut.
Waktu berlalu cepat, lepas dari acara pengucapan sumpah tersebut, ketiga dokter itu berpisah, karena asal kota mereka memang berbeda satu sama lain, berjauhan. Dua puluh tahun berlalu, mereka disibukkan dengan rutinitas masing-masing, hingga tibalah reuni akbar fakultas kedokteran kampus mereka. Tiga dokter itu bertemu kembali. Tertawa bahagia, saling berpelukan, mengenang banyak hal, dan bercerita lebih banyak lagi. Hanya soal waktu ketika mereka bertiga sambil tersenyum simpul mulai membicarakan tentang kompetisi dua puluh tahun lalu.
Dokter pertama, kembali ke kota asalnya, menjadi dokter yg amat terkenal. Dia bekerja di rumah sakit daerah, sekaligus membuka praktek. Dia dokter yg berdedikasi, sumpah socrates membuatnya menjadi dokter yang penuh kasih sayang, peduli pada pasien, selalu membantu. Maka tidak heran, puluhan orang memenuhi tempat prakteknya setiap hari. Dua puluh tahun berlalu, berapa jumlah orang yang pernah dilayaninya? Seratus ribu orang. Wow, dua sahabatnya berseru kagum, bukan main.
Dokter kedua, giliran dia bercerita, sejak masih mahasiswa dia sudah menjadi aktivis yg baik. Saat sudah menjadi dokter, maka dia mendedikasikan ilmunya untuk orang-orang yang tidak mampu, terpencil dan terkena musibah. Saat kejadian tsunami di suatu tempat, puluhan, ratusan, tidak terhitung pasien setiap hari yang harus ditangani, belum lagi belasan posko kesehatan yang berada di bawah komandonya. Dia dokter yg hebat. Dua puluh tahun berlalu, maka jumlah orang yang dilayaninya tidak kalah mengagumkan, seratus lima puluh ribu orang. Wow, dua sahabatnya berseru tidak kalah kagumnya, bukan main. Terlebih orang-orang yang dia layani adalah orang-orang yang tidak mampu atau terkena musibah.
Setelah seruan kagum atas cerita temannya, dokter ketiga terdiam, giliran dia bercerita, tapi hei, dia menggeleng. Ada apa? Dua temannya yang penasaran hendak mendengar rekornya bertanya. Dia menggeleng lagi. Kenapa? Ternyata, sejak sumpah socrates itu dilakukan, dia seharipun tidak pernah membuka tempat praktek dokter atau bekerja di rumah sakit, klinik. Mengapa? Karena saat kembali ke kota asalnya, menikah, suaminya memang mengijinkan dia bekerja, tapi Ibunya mendadak jatuh sakit. Lumpuh, hanya bisa tiduran di ranjang. Anak semata wayang, dia memutuskan merawat Ibunya, penuh kasih sayang, telaten. Bertahun-tahun Ibunya sakit, dan saat usia tua tidak bisa dikalahkan oleh perawatan medis sebaik apapun, Ibunya meninggal dalam pelukannya. Satu tahun setelah kesedihan itu, dia hendak kembali memulai cita-cita membuka praktek dokternya, tapi suaminya, tiba-tiba juga menyusul jatuh sakit, stroke. Terbaring di ranjang tidak berdaya. Maka dimulai lagi siklus yang sama. Bertahun-tah merawat suaminya, penuh kasih sayang, telaten. Kondisi suaminya memang membaik belakangan, sudah bisa berjalan normal, tapi semua sudah berlalu, dua puluh tahun telah lewat, kesempatan telah dimakan waktu. Hanya dua orang itu saja pasiennya selama ini.
Lantas siapa yang memenangkan kompetisi ini? Dokter yang ketiga.
Tentu saja bukan karena semata-mata dia merawat Ibu dan suaminya. Karena jumlahnya tetap kalah telak dibanding rekor pasien dua sahabatnya tadi. Dia memenangkan kompetisi itu, karena dia punya sebuah rahasia kecil.
Kalau mau jujur-jujuran, tidak terhitung dokter ketiga ini marah, kecewa dengan situasi yang dialaminya. Dia iri melihat tetangganya, ibu-ibu rumah tangga yang juga memiliki karir. Apalagi saat membayangkan temannya yang sekarang pasti sibuk melayani pasien. Dia termasuk lulusan terbaik, tapi sekarang hanya terkurung di rumah. Tapi mau dikata apa? Siapa yg akan merawat Ibu dan suaminya? Maka dengan kesadaran baru, di tengah-tengah keterbatasan tersebut, di sisa-sisa waktu yang dimilikinya di rumah, karena jelas dia tidak bisa pergi lama meninggalkan ibunya dan suaminya, dia mulai menulis. Bertahun-tahun tulisannya tentang kesehatan, dunia medis mulai menggunung. Dan satu persatu menjadi buku dan diterbitkan penerbit besar. Mencengangkan melihat buku-buku itu bisa jauh sekali menyerbu hingga ke kamar tidur, toilet. Karena dia menulis apa saja, mulai dari tips kesehatan simpel, hingga update dunia kedokteran modern, maka buku-bukunya amat beragam. Menjadi teman bagi ibu-ibu yang sedang hamil. Menjadi teman bagi ibu-ibu yg punya balita. Menjadi teman bagi siapa saja yang merawat pasien di rumah. Puluhan judulnya, ratusan ribu oplahnya, jutaan pembacanya.
Wow, dua sahabatnya berseru kagum setelah terdiam lama. Hei, ternyata itu buku karanganmu? Dua temannya berseru riang, kami bahkan memakainya sebagai referensi loh, mereka memeluk erat dokter ketiga. Mereka bersepakat, dialah yang memenangkan kompetisi tersebut.
Burung Pipit, Penyu dan Pohon Kelapa
Ada tiga teman baik, burung pipit, penyu dan pohon kelapa. Ketiga-tiganya menghuni sebuah pulau kecil, persis menghadap samudera luas. Bagaimana mereka bertiga bisa berteman? Satu mahkluk udara, satu mahkluk air, satu tumbuh-tumbuhan.Jangan ditanya, karena saya juga tidak tahu jawabannya. Dalam membuat sebuah perumpamaan, ada hal-hal yang tidak perlu dibahas panjang lebar, karena tidak ada gunanya. Jadi mari fokus saja ke ceritanya. Insha Allah kalian akan suka.
Nah, tiga teman ini sedang saling bercerita, tentang petualangan mereka kemana saja selama bertahun-tahun terakhir. Si burung pipit mendapat giliran pertama bercerita. Dia bilang, dia baru saja terbang ke pulau-pulau lain, mengunjungi sawah-sawah luas, menatap kota-kota besar, melihat banyak hal, menyaksikan hal-hal menakjubkan. Jauh sekali, bisa puluhan kilometer terbangnya. Lincah. Maka pengalamannya tidak terbilang. Seru sekali mendengar cerita si burung pipit. Dua temannya bertepuk tangan senang.
Si penyu mendapat giliran kedua bercerita. Wah, kalian tahu penyu, bukan? Usianya ratusan tahun, dan sesuai siklus, mereka bisa berenang melintasi samudera untuk mencari pasangan dan bertelur. Maka ceritanya lebih dahsyat lagi. Si penyu bilang dia menyaksikan kota-kota di tempat jauh, gedung-gedung tinggi, budaya dan peradaban berbeda, mereka bisa berenang ratusan hingga ribuan kilometer, penjelajah air yang tangguh. Lebih seru lagi mendengar cerita si penyu ini. Dua temannya bertepuk riuh, senang.
Giliran si pohon kelapa yang bercerita terakhir kali. Aduh, si kelapa bingung mau cerita tentang apa? Gimana sih? Bukankah dia tumbuh-tumbuhan, ya sudah takdirnya terbenam di tanah, pinggir pantai, tidak bisa kemana-mana, menyaksikan iri, menonton cemburu hewan-hewan lain yang berpetualang. Dia tidak bisa kemana-mana. Dia hanya bisa menatap matahari terbit, kemudian sorenya tenggelam, sunset, hanya disitu-situ saja, di pinggir pantai sepanjang hidupnya. Aduhai, apa yang harus dia ceritakan?
Si burung pipit dan si penyu menunggu antusias. Ayolah si pohon kelapa, apakah kau tidak punya cerita petualangan yang hebat? Dua teman baiknya membujuk. Maka setelah diam sejenak, si pohon kelapa akhirnya bercerita. Tentu saja dia punya cerita petualangan hebat. Namanya juga ini tulisan karang-karangan si Tere Liye, pasti ada sebuah rahasia kecil yang disimpan si pohon kelapa.
Apa rahasinya? Ternyata sederhana sekali. Lihatlah buah-buahnya yang ranum, berwarna kelabu, matang, lantas jatuh sendiri di pasir pantai. Air pasang datang menggulung si buah-buah kelapa yang terjatuh. Lantas membawanya pergi ke lautan luas. Kalian tahu, buah kelapa itu tahan banting, mengapung, terombang-ambing oleh ombak, ikut saja kemana dibawa, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga ke seberang benua jauh tak terbilang, hingga akhirnya kandas sendiri di pantai berbeda, akarnya keluar, tunasnya tumbuh, menjadi pohon kelapa yang tinggi.
Itulah petualangan si pohon kelapa. Tidak terbilang ratusan buah-buahnya yang mengambang, melayari samudera luas. Si burung pipit terdiam, kemudian berseru, "Amboi, bukankah itu buah-buah kelapamu yang tumbuh di pulau seberang itu, Teman?". Si penyu juga tidak kalah berseru, "Astaga, kawan, aku mengenal buah kelapamu yang tumbuh di pulau ribuan kilometer sana. Sudah jadi pohon kelapa yang berbuah lebat. Ternyata itu buah darimu?"
Maka, kata siapa? Kata siapa sih kalau kita hanya ditakdirkan ada di situ-situ saja, tidak bisa kemana-mana, entah karena keterbatasan, entah karena memang sudah nasib, maka kita tidak bisa melakukan hal hebat? Tentu saja bisa. Lihatlah si pohon kelapa di pinggir pantai itu. Dia tidak bisa terbang, tidak bisa berenang, tapi buah-buah miliknya melanglang buana kemana-mana, lebih jauh dibanding si burung pipit dan si penyu. Apalagi kita, manusia.
Lalu hubungannya antara menulis dengan kedua cerita tadi apa? Silakan disimpulkan sendiri ya :D

Nah, semangat untuk menulis sudah ada, tetapi biasanya masalah yang muncul berikutnya adalah menemukan ide untuk menulis.

Apakah menemukan ide memang sesulit itu?
Ide tulisan bisa apa saja. Adalah BOHONG jika kita kehabisan ide tulisan. JANGAN PERNAH PERCAYA. HANYA saja penulis yang baik selalu punya 'sudut pandang spesial'.

Apakah menulis membutuhkan amunisi?
Bagaimana kita mengisi GELAS kosong, kalau TEKO-nya kosong?
Penulis yang baik selalu pandai membaca, mengamati, mencatat, mengumpulkan, merekonstruksi, dan menuliskan.

Bersambung...

Sunday, June 16, 2013

Lava Tour Merapi

Siapa yang sudah pernah ke Yogya? Kalau lagi di Yogya sukanya jalan-jalan ke mana? Malioboro, Prambanan, Borobudur, dan Parangtritis biasanya masuk ke dalam daftar obyek wisata yang wajib dikunjungi. Betul enggak? Kalau saya sih begitu. Acara keluarga sama kantor Mamah, liburan sama temen-temen SMA, bahkan refreshing waktu studio di Gunungkidul juga rutenya pasti ke situ. Bosan. Untungnya waktu pelatihan Just Write 2 kemarin saya mendapatkan kesempatan mengunjungi obyek wisata yang berbeda.

Erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada akhir bulan Oktober dan awal bulan November tahun 2010 yang lalu memang menimbulkan duka yang mendalam bagi masyarakat di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Bagaimana tidak, banyak desa dan pemukiman di wilayah ini luluh lantak akibat awan panas dan lahar panas yang dimuntahkan Gunung Merapi. Bencana ini telah merenggut banyak korban jiwa, bukan hanya masyarakat setempat tetapi juga relawan, wartawan, dan tokoh yang sangat disegani oleh masyarakat setempat yaitu Mbah Maridjan.

Namun, selalu ada hikmah di balik setiap musibah. Kawasan bekas erupsi tersebut kini telah menjadi obyek wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi. Namanya Lava Tour Merapi. Yang menjadi daya tarik dari obyek wisata ini bukan hanya suasana alamnya, tetapi juga adanya dukungan fasilitas transportasi berupa mobil jeep yang membuat wisata ini menjadi lebih berkesan.

Pukul lima pagi, para supir dan jeep-nya sudah siap menjemput saya dan teman-teman di depan Villa Mawar Asri (tempat pelatihan). Namun baru setengah jam kemudian kami semua bisa siap dan berkumpul. Satu jeep bisa diisi oleh empat sampai lima orang penumpang. Saya bersama Mas Irfan, Mba Juni, Nabu, dan Chilmi dibawa Pak Suswanto menyusuri Jalan Kaliurang yang masih gelap. Hembusan angin pagi itu 'menampar' wajah kami yang belum sempat mandi pagi. Segar!

Brrrr... (Dok. Panitia Just Write 2)
Sepanjang jalan, Pak Suswanto menunjukkan kepada kami daerah mana yang tidak terkena dampak erupsi, daerah mana yang dulunya berupa pemukiman namun sekarang sudah tidak ada yang tersisa, pemakaman yang terkubur abu dan material lainnya namun kini sudah digali lagi. Pemandangan yang membuat hati bergetar. Di beberapa tempat terlihat sudah mulai menghijau, pohon-pohon dan rerumputan tumbuh di atas lahan yang subur. Namun di tempat lain masih terlihat sisa-sisa erupsi, terutama di sungai-sungai yang kami lewati.

Pemberhentian pertama yaitu Batu Alien. Di sana kami bisa melihat indahnya matahari terbit, tetapi sayang ketika itu cuaca sedang berkabut. Lagi-lagi di tempat ini, Pak Suswanto dan teman-temannya memberikan penjelasan tentang kejadian erupsi Gunung Merapi dan dampaknya yang masih dapat kita lihat sampai sekarang. Ya, pekerjaan Pak Suswanto dan teman-temannya bukan hanya sebagai supir, mereka juga merangkap pemandu wisata (serta fotografer yang siap mendokumentasikan kenarsisan kami!).

Foto bersama (Dok. Panitia Just Write 2)
Supir sekaligus pemandu wisata sekaligus fotografer (Dok. Panitia Just Write 2)


Setelah mendapatkan banyak pengetahuan mengenai erupsi Gunung Merapi, kami pun dipandu menuju batu alien. Batu alien adalah sebuah batu besar yang apabila diperhatikan secara seksama menyerupai wajah manusia, lengkap dengan mata, hidung, dagu, dan telinga.

Berpose di depan batu alien (Dok. Panitia Just Write 2)
Setelah puas foto-foto di depan batu alien, perjalanan kembali dilanjutkan ke Kaliadem. Kaliadem merupakan wilayah berupa hamparan pasir dan batu-batu besar. Dari tempat ini kami dapat melihat area yang masih mengeluarkan asap dan bau belerang, pemandangan Gunung Merapi, serta pemandangan Kota Yogya dan sekitarnya.

Berpose di Kaliadem (Dok. Panitia Just Write 2)
Sambil menikmati pemandangan, kami juga bisa beristirahat sejenak di warung-warung kecil yang berjajar di tempat itu. Saya dan teman saya mencoba wedang gedang - minuman khas daerah tersebut, yaitu minuman jahe yang disajikan bersama potongan pisang. Rasanya unik!

Nyari yang anget-anget di warung (Dok. Panitia Just Write 2)
Selain menjual berbagai makanan dan minuman, di sini juga terdapat bunga Edelweis bajakan. Katanya, bunga abadi yang terkenal dan sulit didapatkan ini, kini ditanam di ladang hihihi.

Sebenarnya masih banyak tempat yang dapat dikunjungi dalam perjalanan wisata ini, seperti Makam Almarhum Mbah Maridjan dan Museum Sisa Hartaku. Namun sayang waktu kami sangat terbatas karena pelatihan akan segera dimulai.

Tetapi bagi saya pribadi, bagian yang paling seru dari wisata ini justru saat kami kembali pulang, menjelajahi medan offroad. Pak Suswanto sengaja mengambil jalan yang tidak beraspal, membuat kami terhempas kesana-kemari di dalam jeep. Rombongan kami juga dibawa ke sungai tempat lahar dingin mengalir (kalau tidak salah Kali Opak dan Kali Kuning). Apabila sedang tidak hujan, sungai ini kering dan hanya berisi endapan pasir dan batu-batu besar.

Yihaaa! (Dok. Panitia Just Write 2)
Pak Suswanto membawa jeep kami melakukan manuver-manuver ekstrim. Tanjakan dan turunan yang terjal pun tidak luput kami lewati. Wahana yang menantang dan sangat  cocok untuk memicu adrenalin. Semakin kencang suara teriakan kami, maka Pak Suswanto semakin puas. Seru! Lumayan lah sebagai pengganti naik Yamaha Racing Coaster yang belum kesampaian.


Yuhuuu! (Dok. Panitia Just Write 2)
Bagi penyuka wisata alam dan petualangan, Lava Tour Merapi ini bisa menjadi alternatif liburan lain yang seru. Dijamin enggak akan membosankan. Pilihan paketnya beragam, ada short route, medium route, dan long route. Juga paket spesial seperti paket sunrise dan paket malam. Biayanya berkisar antara Rp 250.000 sampai Rp 700.000 per jeep.

Ditambah supir yang ramah dan multitalented, perjalanan menyusuri lereng Gunung Merapi ini menjadi terasa lebih menyenangkan. Hanya siap-siap saja, Pak Suswanto dan teman-temannya ini ternyata jahil juga. Kami sudah dua kali menjadi korbannya hihihi.

Tuesday, June 11, 2013

Mami Rara and The Gank


“Enggak mauuu!!!”
Praanngg!!! Suara teriakan Caca mengejutkan Sarah. Membuat Sarah tanpa sengaja melepaskan cangkir berisi kopi panas yang sedang dipegangnya. Pecahan cangkir dan tumpahan kopi membuat seluruh lantai dapur menjadi berantakan.
“Apa yang pecah? Babe sini dong, kemeja aku yang warna biru muda mana ya?” teriak Haris dari dalam kamar.
“Bi! Bibi!” Sarah memanggil Bi Inah.
“Iya Bu.” jawab Bi Inah sambil berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Sarah.
“Tolong ini diberesin. Caca kenapa sih? Enggak mau makan lagi?” tebak Sarah.
“Iya Bu.” Jawab Bi Inah sambil membawa lap dan ember.
“Duh. Biar saya saja yang bujuk.” ucap Sarah. Sambil berlalu meninggalkan Bi Inah.
Bi Inah mengangguk. Dia lega karena tugas menyuapi Caca sarapan pagi ini diambil alih oleh majikannya.
“Caca! Dimakan yuk sarapannya.” kata Sarah saat mendapati anaknya sedang asyik menonton Shrek, film kartun kesayangannya.
“Enggak mau! Caca mau disuapin sama Mama.” jawab Caca, pandangannya tidak beralih dari depan televisi.
“Caca kan udah besar, makan sendiri ya. Ini nasi goreng buatan Mama loh. Makanan kesukaan kamu.” Sarah mencoba membujuk Caca.
“Enggak mau! Caca mau disuapin sama Mama.” jawab Caca bersikeras.
Sarah mengehala nafas. Akhirnya dia pun menyerah dan menyuapi gadis kecilnya.
Babe! Kopinya udah jadi? Kemeja biru aku mana yah?” Haris berteriak lagi.
Aarrgghh!! Sarah ingin berteriak sekencang-kencangnya. Namun dia segera mengambil nafas panjang, menahannya beberapa detik, lalu membuangnya pelan-pelan. Sarah melakukannya berulang-ulang. Mencoba mempraktekkan hypnotherapy yang baru-baru ini sedang dia pelajari. Kegilaan dan kesibukan sebagai ibu rumah tangga bisa membuatnya benar-benar gila kalau dia tidak menemukan cara untuk menenangkan jiwanya.
***
“Gue enggak ngerti. Dulu waktu gue masih kerja, Haris dan Caca enggak pernah serewel ini. Caca lumayan mandiri, Haris apalagi. Malah Haris yang biasanya bantuin pekerjaan domestik. Tapi sekarang, duh gue ngerasa seakan-akan mereka mau balas dendam sama gue karena dulu pernah ‘nelantarin’ mereka.” Sarah mecurahkan isi hatinya pada Yuli melalui telepon. Caca sudah berangkat ke sekolah, begitu juga dengan Haris yang sudah berangkat ke tempat kerjanya di sebuah perkebunan kelapa sawit.
“Hahaha! Bukan balas dendam kali, mereka tuh cuman ingin diperhatiin aja sama lo.” jawab Yuli,  soulmate Sarah di kantornya dulu saat masih menjadi banker di Jakarta.
“Ah itu sih nyiksa gue. Resenya mereka ngelebihin resenya Bu Prita loh!” ucap Sarah.
“Lo belum terbiasa aja kali. Coba deh lo bergaul sama ibu-ibu rumah tangga lainnya. Terus ngobrol dan minta pengalaman mereka, supaya lo enggak stres gitu.” Yuli mencoba memberi saran.
"Oh iya gue jadi inget. Gue harus dateng ke acara di sekolahnya Caca. Ada pertemuan rutin orang tua murid jam 10." kata Sarah.
"Kayanya ini perjalanan dinas pertama lo ya sejak resmi jadi ibu rumah tangga." kata Yuli menggoda Sarah.
"Iya nih, makanya gue agak nervous juga." jawab Sarah.
"Dinas ke luar gitu dapet duit SPJ berapa dari suami lo? Cukup enggak buat sepatu Manollo Blahnik yang kemarin lo incer?" Yuli mengolok Sarah.
"Urusan sepatu sih gampang, tinggal minta aja kali sama Haris, dia bakal langsung ngasih kok." Sarah menjawab sambil tertawa.
"Iya deh, yang udah jadi ibu rumah tangga. Selamat menikmati hari-hari ngabisin duit suami ya." kata Yuli.
"Sialan lo. Sekarang gue enggak terlalu ngebet sama barang-barang kaya gitu lagi, soalnya di sini yang dihargai itu kepribadian bukan barang-barang branded. Yuk ah gue musti siap-siap dulu nih. Thanks ya. Bye!" Sarah lalu menutup sambungan telepon dengan sahabatnya itu.
"Oke. Bye dear!" balas Yuli.
***
Beberapa saat kemudian Sarah sudah siap berangkat ke sekolah Caca. Rupanya tetangga sebelah rumah Sarah sedang membeli sayuran dari tukang sayur langganan mereka.
"Wah pagi-pagi begini Bu Haris udah cantik. Mau ke mana Bu?" tanya Bu Gilang ketika mengetahui Sarah sudah menyalakan mobilnya.
"Eh ada Bu Gilang. Saya ada acara pertemuan orang tua murid di sekolahnya Caca." jawab Sarah sambil membuka pintu gerbang rumahnya. 
"TK Mawar?" Bu Gilang bertanya lagi.
"Iya." jawab Sarah sambil mengangguk.
"Wah! Saran saya sih hati-hati aja. Pergaulan ibu-ibu sosialita di sana hebat-hebat loh. Apalagi kalau udah ketemu sama Mami Rara and the Gank. Salah kostum sedikit, siap-siap aja dapet kritikan pedas." cerita Bu Gilang.
Sarah melongo. Namun dia tersadar dan segera pamit pada Bu Gilang untuk kembali masuk ke dalam rumah.
Sarah lalu berdiri mematung di depan cermin. Meskipun sederhana, tapi penampilannya tetap terlihat elegan. Sayangnya kali ini tidak ada satu pun item branded yang dia kenakan. Sesuai pesan ibunya, Sarah harus menyimpan barang-barang branded-nya agar bisa lebih berbaur dengan lingkungan barunya. Namun siapa yang menyangka bahwa di sebuah TK di pelosok Sukabumi ini ternyata ada juga kumpulan ibu-ibu sosialita.
Ingatan Sarah tentang kenangan masa lalunya kembali. Ketika SMA, Sarah merupakan murid yang bisa dikatakan hampir tidak mempunyai teman. Sebagian besar teman-teman di sekolahnya merupakan anak pejabat dan pengusaha. Mereka memilih teman hanya berdasarkan penampilan dan materi yang digunakan. Setelah Sarah bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri, penampilannya berubah total. Selain menjadi perempuan yang supel, penampilannya pun selalu melibatkan barang-barang branded yang up to date.
Sarah masih berdiri di depan cermin. Penampilannya sangat sederhana, padahal kesan pada pandangan pertama begitu penting. Dia tidak ingin kejadian saat SMA kembali terulang. Dia tidak mempedulikan pesan ibunya. Dia harus mendapatkan teman dan harus menyesuaikan penampilannya dengan ibu-ibu di sini agar dapat bergabung dengan Mami Rara and the Gank.
Sarah ingin sekali mengganti pakaiannya, tapi sepertinya waktunya sudah tidak mencukupi lagi. Lalu Sarah pun berjalan ke lemari khusus tempat penyimpanan koleksi tas-tas branded-nya. Dia mengambil salah satu tas yang serasi dengan pakaian yang sedang dia kenakan.
Sarah menimang-nimang tas branded itu. Bentuknya cantik sekali. Terbuat dari kulit sintetis yang di-emboss berwarna putih dengan aksen kulit sintetis bertekstur kulit ular. Berkali-kali dia menimang lalu menaruhnya kembali, lalu kembali mengambil dan menimangnya lagi. Sarah merasa bimbang.
Setelah menimbang-nimbang akhirnya Sarah memutuskan untuk mengenakan tas Hermes itu. Dia juga melilitkan kain scarf Dior di lehernya. Lalu sekali lagi Sarah mematut bayangan dirinya di depan cermin. Kini penampilannya terlihat lebih mewah, membuat dia lebih percaya diri.
***
Tiba di sekolah Caca, Sarah melihat kumpulan ibu-ibu sedang asyik mengobrol. Rupanya acara pertemuan belum dimulai. Sarah berjalan menghampiri mereka.
"Ada orang baru nih. Mama Caca ya?" tanya seorang perempuan dengan make-up wajah yang sangat tebal.
"Iya." jawab Sarah sambil mengangguk sopan. Padahal sesungguhnya dia kesal sekali karena semenjak menjadi ibu rumah tangga, identitas pribadinya sebagai Sarah Utami menjadi hilang. Di lingkungan rumah dia harus mau dipanggil Bu Haris, sedangkan di lingkungan sekolah dia harus mau dipanggil Mama Caca.
"Kenalin saya Mami Rara dan ini Bunda Tisa." perempuan itu mengenalkan diri dan temannya pada Sarah.
"Wah! Tasnya bagus sekali. Enak ya tinggal di Jakarta, mudah dapet barang-barang bagus." perempuan yang disebut Bunda Tisa mengomentari tas yang dikenakan Sarah.
"Tas ini saya beli waktu dulu sedang dinas ke Eropa." jawab Sarah sambil tersenyum sopan.
"Jauh amat beli ke Eropa. Tenang, di Sukabumi juga ada kok tempat yang seru buat dapet barang bagus. Harganya lumayan mahal sih, tapi barangnya beneran bagus loh! Tas ini harganya lima ratus ribu. Keren kan?" Mami Rara menunjukkan tas yang dia kenakan.
Sarah menelan ludah melihat tas Luis Vutton entah KW berapa yang dibanggakan Mami Rara.
"Enggak jauh beda kan sama yang dari Eropa." Mami Rara menyandingkan tasnya dengan tas Sarah.
Sarah tersenyum masam karena tasnya yang berharga puluhan juta disandingkan dengan tas KW.
"Kalau yang punya saya ini satu juta. Cantik kan?" Bunda Tisa ikut memamerkan tasnya.
Lagi-lagi Sarah menelan ludah melihat tas Gucci entah KW berapa yang dibanggakan Bunda Tisa.
"Kalau menurut Mama Caca kemahalan, Umi Fera jual loh tas-tas branded yang harganya miring." Mami Rara berbisik pada Sarah.
Tidaaakkk!!! Jerit Sarah di dalam hati. Dia merasa cemas. Sanggupkah dia bergaul dan berbaur dengan ibu-ibu sosialita KW ini.
*****



Monday, June 10, 2013

Kalau Jodoh, Enggak Akan Ke Mana

Setelah puas bergalau-galau ria dan ngabisin tisu berbungkus-bungkus pada jam-jam awal saya dalam perjalanan menggunakan kereta dari Bandung menuju Yogyakarta, saya merenung dan menyimpulkan bahwa kalimat 'Kalau memang jodoh, enggak akan ke mana' itu cocok banget sama keadaan saya saat itu. 

Jadi begini ceritanya. Waktu pertama kali ngeliat pengumuman tentang Just Write 2 dua bulan yang lalu, saya sangat antusias dan merasa terpanggil untuk ikut seleksinya. Saya juga langsung lapor sama suami tentang pelatihan menulis bergengsi yang diadakan Penerbit Diva Press ini. Saya bilang, "Yang.. Ini ada pelatihan nulis gratis tapi 4 hari dan di Yogya.. Ikut jangan yah? Kalau enggak lolos ya udah, tapi kalau lolos gimana?". Bukannya sok pede bakal lolos hihi, tapi sebelum memutuskan sesuatu kan harus mempersiapkan segala kemungkinan. Terus suami saya jawab, "Ya udah, coba aja dulu.". Baiklah kalau begitu.

Baru dua bulan kemudian (beberapa hari sebelum deadline) saya ngebut bikin cerpen sebagai salah satu syarat yang harus dilengkapi untuk mengikuti seleksi. Tapi sehari sebelum deadline, saya tiba-tiba berubah pikiran. Sepertinya lebih baik mengirimkan cerpen yang sudah pernah terbit aja.

Hari terakhir, saya baru sadar bahwa ternyata saya tidak mempunyai scan-an tanda tangan untuk surat pernyataan. Maka saya pun langsung lari ke rumah orang tua, karena disana ada scanner. Masalah tanda tangan beres, saya baru ingat kalau pas foto saya yang terakhir dibuat itu waktu sebelum saya nikah, yang berarti saya belum dijilbab. Langsung panik karena saya harus segera membuat foto lagi. Di rumah enggak ada siapa-siapa (kecuali Jav). Akhirnya saya nyobain bikin pas foto sendiri pakai timer. Lumayan lah hasilnya enggak jelek-jelek amat, sebelas dua belas lah sama hasil foto di studio :p

Nah, jam 3 sore (2 jam sebelum deadline) pas saya ngirim email pendaftaran, email panitianya error dong. Mungkin karena banyak yang mengirim email juga jadi overload. Berkali-kali nyoba ngirim dari berbagai alamat email pun, selalu gagal. 

Akhirnya saya pasrah. Ini memang salah saya. Udah dikasih waktu dua bulan, kenapa juga ngirimnya mepet-mepet deadline. "Mungkin belum jodoh." begitu pikir saya.

Taunya Pak Edi (Bos-nya Diva Press) bilang di twitter-nya kalau bisa kirim email pendaftaran ke beliau juga, nanti beliau forward ke email panitia. Saya pun langsung kirim email pendaftaran ke email Pak Edi. Ah senangnya. Kalaupun enggak lolos, setidaknya usaha saya sudah maksimal.

Setelah itu saya kembali sibuk dengan rutinitas saya. Sampai suatu siang Mba Rini memberi selamat pada saya lewat Whatsapp karena lolos seleksi Just Write 2. Shock! *sesak nafas* Waktu itu saya memang sedang terisolasi dari dunia luar. Sinyal handphone ancur-ancuran. Enggak bisa telepon, SMS, browsing, dll. Whatsapp juga kadang bisa masuk, tapi enggak bisa keluar. Makanya panitia Just Write 2 juga kesulitan menghubungi saya. 

Waktu lapor sama suami, dia jawabnya "Alhamdulillah.". Sementara saya? Galau. Jujur, saya belum siap mental ninggalin Jav selama empat hari pelatihan ditambah dua hari perjalanan. Tetapi suami terus mendukung bahkan dia yang sibuk nge-print surat pernyataan kesediaan mengikuti pelatihan, ngirim surat-surat itu ke kantor pos, beliin tiket kereta, dll. 

Selama sebulan saya nyiapin semua untuk kebutuhan Jav selama saya pergi, beres. Tapi nyiapin mental saya untuk ninggalin Jav kok enggak beres-beres. Saya sibuk berandai-andai, gimana kalau nanti Jav nyari saya dan nangis enggak mau berhenti, kan kasian yang jaganya. Gimana kalau nanti di tempat pelatihan saya sedih terus inget sama Jav. Seandainya saya enggak daftar, tentu saya enggak perlu galau begini.

"Saya ibu yang egois."
"Tapi saya kan pergi bukan buat aneh-aneh. Saya pergi buat belajar nulis, menuntut ilmu."
"Ngapain sih belajar nulis aja harus jauh-jauh ke Yogya."
"Tapi ini kesempatan langka, menjadi 30 peserta terpilih dari 900 pendaftar. Belum tentu saya bisa dapet kesempatan kaya gini lagi."
"Oke."

Akhirnya saya pasrah saja. Apalagi kartu undangan dari panitia Just Write 2 juga sudah sampai. Enggak ada jalan kembali dan enggak ada lagi yang bisa saya perbuat selain mencoba berdamai dengan hati (pinjem istilahnya Mba Rini).

Dok. Pribadi
Akhirnya hari pelatihan itu tiba juga. Berkali-kali saya ninggalin Kota Bandung, tapi saya enggak pernah ngerasa sesedih kemarin, karena harus ninggalin Jav. Begitu juga sebaliknya. Berkali-kali saya ninggalin Kota Yogya, tapi saya enggak pernah ngerasa sesedih kemarin. Saya merasa beruntung sekaligus terharu karena telah mendapatkan banyak hal dari pelatihan ini. Bukan hanya materi tentang menulis, tetapi juga pengalaman dari para penulis terkenal (termasuk Tere Liye - penulis favorit saya!), rahasia dan tips-tips dari para editor, juga semangat menulis dari para peserta pelatihan lainnya yang keren-keren dan udah pada nerbitin buku. Semua itu enggak mungkin saya dapatkan kalau dua bulan yang lalu saya enggak daftar.

Aahh terima kasih banyak buat suamiku yang sudah memberi istrinya kesempatan untuk mendapatkan ilmu yang sangat berharga ini. Meskipun sebenarnya saya masih penasaran juga sih. Suami saya ini ngijinin saya pergi karena memang ingin saya berkembang atau karena males bakal diungkit-ungkit seumur hidup kalau enggak ngijinin hihihi.

Yah apapun alasan suami saya, kalau memang jodoh, enggak akan ke mana :)


Dok. Pribadi
PS: Maaf kalau agak lebay, harap maklum sejak jadi emak-emak enggak pernah kemana-mana :D